Selasa, 14 Juni 2011

askep isk ( infeksi saluran kencing )


ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
A. Pengertian
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.
(Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)
Klasifikasi
Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:
Kandung kemih (sistitis)
uretra (uretritis)
prostat (prostatitis)
ginjal (pielonefritis)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.
ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
Gangguan daya tahan tubuh
Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.
Etiologi
Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
Mobilitas menurun
Nutrisi yang sering kurang baik
Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
Adanya hambatan pada aliran urin
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat
Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal
Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
Mobilitas menurun
Nutrisi yang sering kurang baik
System imunnitas yng menurun
Adanya hambatan pada saluran urin
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.


E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):
Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
Hematuria
Nyeri punggung dapat terjadi
Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)
Demam
Menggigil
Nyeri panggul dan pinggang
Nyeri ketika berkemih
Malaise
Pusing
Mual dan muntah
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
Bakteriologis
Mikroskopis
Biakan bakteri
Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
Metode tes
Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.
Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
Terapi antibiotika dosis tunggal
Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
Interansi obat
Efek samping obat
Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
Efek nefrotosik obat
Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut:
Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/
Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh membahnayakan/
Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?
Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan?
Pengkajian
Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh
Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
Adakah obstruksi pada saluran kemih?
Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial.
Bagaimana dengan pemasangan kateter foley?
Imobilisasi dalam waktu yang lama.
Apakah terjadi inkontinensia urine?
Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)
Adakah disuria?
Adakah urgensi?
Adakah hesitancy?
Adakah bau urine yang menyengat?
Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah
Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas
Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.
Pengkajian psikologi pasien:
Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya.
Diagnosa Keperawatan Yang Timbul
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Intervensi Keperawatan
Dx 1 :
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
Kriteria evaluasi:
Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul
Intervensi:
Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih, masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat;
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus
Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
Berikan perawatan perineal
Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari.
Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
Kolaborasi:
Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau bertambah sakit
Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas
Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri
Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar . Pemberian air sampai 2400 ml/hari
Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan membentu membilas saluran berkemih
Dx 2:
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Kriteria Evaluasi:
Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria)
Intervensi:
Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
Tentukan pola berkemih pasien
Dorong meningkatkan pemasukan cairan
Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
Kaji keluhan kandung kemih penuh
Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung kemih/ginjal)
Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
Rasional: untuk mencegah statis urin
Kolaborasi:
Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.
Dx 3:
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
Intervensi:
Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng
Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi.
Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan
Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan
Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, inum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri
Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.
Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.
Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI
Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.
ARTIKEL BERKAITAN

fobia


MAKALAH PSIKOLOGI
FOBIA
Disusun oleh  : Kelas 1b
Kelompok 3
1.      Cucu Farida Kurnia H    
2.      Dhanny wijaya Ellinna               
3.      Diah Ayu Widiastutik
4.      Ida krisnawati
5.      Nurul Qomariyah
6.      Ita feriyanti
7.      Masroatul Nurul Jannah
8.      Gayuh Cahyaning Putri
9.      Wulan Permata Sari        
Dibimbing oleh :
Novi Kurniawati, Amd.Keb,S.Psi

PRODI D3 KEBIDANAN
STIKES DIAH HUSADA MOJOKERTO
TAHUN AJARAN 2010/2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karuniaNya penyusun dapat menyelesaikan makalah psikologi yang berjudul “Fobia” ini tepat pada waktunya. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas fobia semester dua. Makalah ini berisi beberapa informasi mengenai pengertian fobia dan jenis-jenis fobia.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yaitu :                 
1. Yulianto.S.kep.Ns.M.Mkes  selaku ketua stikes Dian Husada Mojokerto                                                                                           2. Indra Yulianti, S.ST  selaku kaprodi D3 kebidanan Stikes Dian Husada Mojokerto                                                                                                          3. Novi Kurniawati, Amd.Keb, S.Psi selaku dosen pembimbing mata kuliah psikologi                                                                                                     yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun dan pembaca.

Mojokerto, 25 Mei 2011

penyusun






I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Ketakutan pada anak akan orang asing muncul pada usia enam bulan dan mencapai puncaknya pada usia 18 – 24 bulan dan bayi akan belajar cepat mengenal wajah orang tuanya. Setiap orang yang tampak asing menurut dirinya akan menyebabkan rasa takut da ketidaknyamanan. Bayi akan memunculkan ekspresi yang berbeda ketika melihat orang asing, tapi akan mengekspresikan wajah tersenyum dengan orang yang sudah dikenal. Hal ini menunjukkan bahwa bayi membutuhkan waktu untuk menerima orang lain. Bila rasa takut itu berlarut-larut maka anak akan mengalami kesulitan. Salah satu kesulitannya adalah sulit beradaptasi dengan lingkungan baru dan bisa berkembang menjadi fobia sosial serta anak akan merasa tegantung dengan orang tuanya dan menarik diri dari lingkungna sosial.
1.2         Rumusan Masalah
  1.  Apa pengertian mengenai fobia?
  2. Jelaskan tentang macam-macam fobia
1.3         Tujuan Penelitian
1.      Mampu menjelaskan mengenai fobia
2.      Mampu menjelaskan mengenai macam-macam fobia dan gejalanya
1.4        Manfaat Penelitian
1.      Untuk penyusun
·         Menambah pengetahuan penyusun mengenai fobia
·         Memberikan informasi kepada penyusun mengenai fobia dan jenisnya
2.      Untuk pembaca
·         Agar pembaca mengerti dan tahu mengenai fobia
·         Agar pembaca tahu gejala dari fobia


1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1              Pengertian Fobia
                 *            Fobia adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoak atau tikus. Sementara di bayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.
Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrem seperti trauma bom, terjebak lift dan sebagainya.
Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi).
2
Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus menerus untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu dari jenis jenis hambatan sukses lainnya. ( www.wikipedia.com )
                 *            Pengertian fobia menurut para psikopatolog adalah sebagai penolakan yang menggangu, diperantarai rasa takut yang tidak proposional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu da diakui oleh penderita sebagai sesuatu yang tidak mendasar. Dengan kata lain, fobia adalah ketakutan terhadap suatu situasi atau obyek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian tidak membahayakan.
Berdasarkan DSM-IV-TR gejala dari fobia adalah :
(1) Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi.
(2) Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens.
(3) Orang tersebut menyadari ketakutannya tidak realistis.
(4) Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens.
Beberapa istilah yang paling dikenal adalah claustrophobia, yaitu ketakutan pada ruang tertutup. Agoraphobia, adalah ketakutan pada tempat umum.
3
Acrophobia, adalah ketakutan pada ketinggian. Animal phobia, adalah ketakutan pada jenis binatang tertentu. Blood phobia, adalah ketakutan pada darah.Banyak penderita tertentu yang tidak membuat mereka cukup terdesak untuk mencari bantuan penanganan. Sebagai contoh, jika seseorang yang memiliki ketakutan yang sangat besar pada ular, ia tinggal di daerah metropolitan, kecil kemungkinan ia mengalami kontak langsung dengan objek yang ditakuti sehingga tidak percaya ada yang salah dengan dirinya. Pada kebanyakan kasus, fobia banyak dialami oleh wanita dibandingkan dengan pria. (sumber : psikologizone.com)
2.2              Macam-macam Fobia
Ada kebanyakan kasus, fobia banyak dialami oleh wanita dibandingkan dengan pria. Fobia sendiri dibagi menjadi dua macam kategori yaitu fobia spesifik dan fobia sosial.
a.       Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. Lebih ringkasnya fobia ini disebabkan oleh obyek atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: darah, cedera, dan penyuntikan, situasi (seperti pesawat terbang, lift, ruang tertutup), binatang, dan lingkungan alami (seperti ketinggian, air).
b.      Fobia Sosial
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan rang lain (Davidson dkk., 2006:185). Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari situasi di mana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuatu di depan public, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrem, bahkan serangan panik (Davidson dkk., 2006:186).

4
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. individu yang mengalami fobia sosial biasanya menghindari situasi yang membuat dia merasa dievaluasi, mengalami kecemasan, atau melakukan perilaku yang tidak seharusnya. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan dampak yang tampak. Berbicara atau melakukan sesuatu di depan publik, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktifitas lain yang dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrim pada penderita fobia sosial. Orang yang menderita fobia sosial banyak yang memiliki profesi atau pekerjaan yang jauh di bawah kemampuan atau kecerdasan mereka karena sensifitas sosial yang ektrim mereka alami. Lebih baik mengerjakan pekerjaan yang bergaji rendah dari pada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih tinggi.
penyebab dari fobia sosial sendiri adalah sering ditakut-takuti oleh orang tua atau orang-orang sekitar yang dekat. Seperti “jangan dekat-dekat dengan orang asing,nanti bisa diculik!’ dan pengaruh keluarga yang terlalu mengekang anak pada saat ingin melakukan interaksi serta trauma anak seperti diejek, dijadikan bulan-bulanan.
Etiologi
A. Pendekatan Psikoanalisis
Menurut Freud, fobia sosial atau hysteria‑ansietes merupakan manifestasi dari konflik Oedipal yang tidak terselesaikan. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik dan kecemasan. Akibatnya, ego berusaha menggunakan mekanisme‑pertahanan represi yaitu membuang jauh dari kesadaran. Konflik seksual ditransfer dari orang yang mencetuskan konfilk kepada sesuatu yang sepertinya tidak penting atau objek yang tidak relevan atau situasi yang sakarang mempunyai kekuatan untuk membangkitkan anxietas. Situasi atau obyek yang dipilih atau disimbolkan biasanya berhubungan langsung dengan sumber konflik. Dengan menghindari objek tersebut pasien dapat lari dari penderitaan anxietas yang serius.


5
B. Pendekatan behavioral
Literatur behavioral membuktikan fakta bahwa perilaku takut sering dihasilkan dari emosi negatif atau pengalaman traumatik (Watson & Rayner, 1920). Selama wawancara klinis, banyak orang dengan gangguan fobia sosial melaporkan sebuah kejadian traumatik masa lalu yang diasosiasikan dengan onset gangguan mereka. Kadang-kadang bahkan masalah dengan sosialisasi dan performa muncul sebelum kejadian tertentu karena pasien mengatribusi banyak episode traumatik sebagai penyebab kondisi saat ini (misalnya kejadian yang memperburuk ketakutannya). Dalam survey yang didesain untuk memeriksa ketakutan dan kecemasan, 58% orang dengan gangguan kecemasan sosial menunjukkan onset mereka pada terjadinya peristiwa traumatik (Ost, 1985). Ketika prevalensi pengalaman traumatik yang dikondisikan pada pasien dengan gangguan kecemasan sosial dibandingkan dengan partisipan kontrol yang tidak memiliki gangguan, sebanyak 44 % dari orang yang memiliki gangguan kecemasan sosial merecall pengalaman yang dikondisikan yang menandai onset ketakutan-ketakutan sosial mereka (Stemberger, Turner, Beidel, & Calhoun, 1995).
C. Pendekatan Kognitif
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berfikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimulasi negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; turk dkk, 2001). Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini. Rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulasi dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tersebut (Amir. Foa, & Coles, 1998).

6
D. Pendekatan Biologis ( Teori Neurotransmiter )
1)      Mekanisme Dopaminergik
Dari penelitian didapatkan bahwa fobia sosial berhubungan dengan gangguan pada system dopaminergik. Kadar homovanilic acid (HVA) pada penderita fobia sosial lebih rendah blia dibandingkan dangan penderita panik atau kontrol. Adanya perbaikan gejala fobia sosial dengan pemberian monoamine oxidase inhibitor (MAOI) menunjukkan bahwa kinerja dopamine terganggu pada fobia sosial.
2)      Mekanisme Serotonergik
Pemberian fenilfluramin pada panderita fobia sosial menyebabkan peningkatan kortisol sehingga diperkirakan adanya disregulasi serotonin. Walaupun demikian, pada pemberian methchlorphenylpiperazine (MCPP), suatu serotonin agonis, tidak ditemukan adanya perbedaan respons prolaktin antara penderita fobia sosial dengan kontrol normal. Begitu pula, pengukuran ikatan platelet (3H)‑paroxetine, suatu petanda untuk mangetahui aktivitas serotonin; tidak terlihat adanya perbedaan antara fobia sosial dengan gangguan panik atau kontrol normal.
3)      Mekanisme Noradrenergik
Penderita fobia sosial sangat sensitif terhadap perubahan kadar epinefrin sehingga dengan cepat terjadi peningkatan denyut jantung, berkeringat dan tremor. Pada orang normal, gejala fisik yang timbul akibat peningkatan epinefrin mereda atau menghilang dengan cepat. Sebaliknya pada penderita fobia sosial tidak terdapat penurunan gejala. Bangkitan gejala fisik yang meningkat semakin mengganggu penampilan di depan umum. Pengalaman ini juga membangkitkan kecamasan pada penampilan berikutnya sehingga mengakibatkan orang tidak berani tampil dan menghindari panampilan selanjutnya.
4)      Pencitraan Otak
Dengan magnetic resonance imaging (MRI) terlihat adanya penurunan volume ganglia basalis pada penderita fobia sosial. Ukuran putamen berkurang pads fobia sosial.
7
2.3 Gejala dan penanganan
Kriteria diagnostik untuk fobia sosial menurut DSM-IVTR adalah:
  1. Ketakutan yang mencolok dan menetap pada satu atau lebih situasi atau performa sosial yang mana seseorang di ekspose pada orang-orang yang tidak familiar atau pada kemungkinan diperhatikan secara cermat oleh orang lain. Ketakutan individual yang membuat orang tersebut akan beraksi pada cara tertentu (atau menunjukkan simtom kecemasan) yang akan membuatnya merasa dipermalukan. 
  2.  Paparan pada situasi sosial hampir selalu menimbulkan kecemasan, yang mana mungkin berbentuk kecenderungan serangan panik. Catatan: pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum, membeku, atau malu-malu dari situasi sosial dengan orang-orang yang tidak familiar.
  3. Orang mengenali bahwa ketakutannya berlebihan atau tidak masuk akal. Catatan: pada anak-anak, ciri ini mungkin tidak muncul.
  4. Situasi atau performa sosial yang ditakutkan dihindari atau ditahan dengan kecemasan atau distress yang intens.
  5. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau distress dalam situasi atau performa sosial yang ditakuti mengganggu aktivitas normal rutin, fungsi akademik, atau aktivitas atau hubungan sosial secara signifikan atau terdapat distress yang mencolok karena memiliki fobia.
  6. Pada individu dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan
  7. Ketakutan atau penghindaran bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis umum dan lebih baik tidak dilaporkan dengan gangguan mental lain (misalnya gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia, gangguan separation anxiety, gangguan tubuh dismorfik, gangguan perkembangan pervasif, atau gangguan kepribadian skizoid).
  8. Jika terdapat kondisi medis secara umum atau gangguan mental lain, ketakutan dalam kriteria A tidak berkaitan pada penyakit tersebut, misalnya ketakutan bukan dari gagap gemetar pada penyakit Parkinson, atau menunjukkan perilaku makan yang abnormal pada Anorexia Nervosa atau Bulimia Nervosa.

8
Kriteria diagnostik untuk ICD-10 gangguan social anxiety pada Anak:
  1. Kecemasan yang menetap dalam situasi sosial yang mana anak harus menghadapi orang yang tidak dikenal, termasuk teman sebaya, dimanefestasikan dengan perilaku menghindar secara sosial.
  2. Anak menunjukkan kesadaran diri, malu, atau sangat kuatir mengenai ketidaktepatan perilakunya ketika berinteraksi dengan orang yang tidak dikenali.
  3. Terdapat gangguan yang signifikan dengan hubungan sosial (termasuk teman sebaya), yang mana mengakibatkan keterbatasan
  4. Anak memiliki hubungan sosial yang memuaskan dengan figur yang familiar).
  5. Onset gagguan biasanya bersamaan dengan perkembangan fase dimana reaksi kecemasan ini dipertimbangkan dengan tepat. Tingkat abnormal, menetap dan gangguan yang berhubungan harus dimanifestasikan sebelum usia 6 tahun.
  6. Kriteria gangguan kecemasan secara umum tidak ditemukan pada anak
  7. Ganggua tidak terjadi sebagai bagian dari gangguan emosi, gangguan perilaku atau kepribadian, atau gangguan perkembangan pervasive, gangguan psikotik atau gangguan penggunaan obat-obatan psikoaktif.
  8. Durasi dari ganguan sekurang-kurangnya 4 minggu.
Penanganan Penderita Fobia
Dalam penanganan penderita fobia, penderita tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri sehingga haruslah dibantu oleh terapis yang kompeten dibidangnya. Banyak sekali terapi yang dapat dilakukan. Berikut adalah beberapa pendekatan terapi yang bisa dilakukan. Pendekatan Psikoanalisa yaitu dengan dua cara (1) pengungkapan kecemasan yang direpresi; (2) Penyelesaian konflik masa kanak-kanak. Pendekatan Behavioral yaitu (1) Systematic desensitization, yaitu individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara ia berada dalam kondisi rileks; (2) Flooding, yaitu teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh; (3) Modelling, yaitu teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Pendekatan Kognitif yaitu Eliminasi irational belief, dengan cara menghapuskan pemikiran yang irasional. Pendekatan Biologis yaitu dengan menggunakan obat-obatan seperti sedative, transquilizer, dan anxyolitic.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian fobia menurut para psikopatolog adalah sebagai penolakan yang menggangu, diperantarai rasa takut yang tidak proposional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu da diakui oleh penderita sebagai sesuatu yang tidak mendasar. Dengan kata lain, fobia adalah ketakutan terhadap suatu situasi atau obyek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian tidak membahayakan. Fobia sendiri dibagi menjadi dua macam kategori yaitu fobia spesifik dan fobia sosial.











10
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, Gerald C. dkk. (2006). Psikologi Abnormal (edisi ke- 9) (terjemahan Noermalasari Fajar). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Mulyadi, Seto. Membantu Anak Balita Mengelola Ketakutan. Jakarta : Erlangga for Kids.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga.
www. psikologizone.com
www.wikipedia.com                                                                                                           











11
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                   ..........................................................  i
DAFTAR ISI                                                  ..........................................................  ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang                        .......................................................... 1
1.2       Rumusan Masalah                   ..........................................................  1
1.2       Tujuan             .                       ..........................................................  1
1.3       Manfaat                                   ........................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
             2.1       Pengertian Fobia                     ........................................................... 2
2.2       Macam-macam Fobia              ........................................................... 4
2.3       Gejala dan Penanganan           ........................................................... 8

BAB III PENUTUP                    
3.1       Simpulan                                 ........................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA






ii